Newsils.com || Sidoarjo, Oleh: Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D- Indonesia adalah negeri yang kaya raya, tanahnya subur dan langitnya luas. Namun di balik aliran sungai yang memberi kehidupan, mengalir pula arus tak kasatmata: uang yang berpindah tangan secara gelap, janji yang disamarkan dalam senyum, hingga kepentingan yang perlahan menggerogoti akar keadilan.
“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanah publik, yang merampas hak generasi kini dan mendatang” (Transparency International, 2024). Ironisnya, praktik busuk ini tumbuh subur di tanah yang menjunjung tinggi nilai agama. Seperti lumut di batu, ia melekat pada sistem, meski berkali-kali dibasuh doa.
Secara ekonomi, korupsi memang menciptakan perputaran uang. “Ekonomi berbasis rente dan suap dapat memunculkan aktivitas semu yang menguntungkan segelintir pihak” (Suryanto, 2022). Ada proyek yang berjalan karena uang pelicin, ada bisnis yang hidup karena koneksi gelap. Namun, semua itu ibarat membangun rumah di atas pasir: tampak kokoh, tetapi rapuh di dasarnya. Kekayaan dari korupsi tidak menghasilkan nilai tambah berkelanjutan hanya memindahkan sumber daya dari banyak tangan ke sedikit kantong.
Dampak sosial korupsi jauh lebih parah. “Korupsi merusak kepercayaan publik terhadap institusi dan melemahkan legitimasi negara” (KPK, 2023). Ketika hukum bisa dibeli, moral publik pun tergerus. Nilai agama yang diajarkan di mimbar berubah menjadi retorika kosong karena perilaku para pemimpin tak sesuai ucapan. Pada titik ini, kerugian bukan hanya angka di APBN, melainkan juga luka kolektif dalam jiwa bangsa.
Dari sisi psikologi, perilaku korupsi berakar pada rasionalisasi moral. “Pelaku korupsi kerap mengalami moral disengagement, yakni mekanisme yang memutus hubungan antara nilai moral pribadi dan tindakan yang dilakukan” (Bandura, 2016). Alasan seperti “semua orang melakukannya” membuat rasa bersalah berkurang, hingga perilaku menyimpang dianggap wajar.
Dari sisi spiritual, korupsi adalah kegelapan batin yang menutupi cahaya kesadaran. “Setiap tindakan yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi mempertebal tirai ego” (Tolle, 2005). Kekayaan dari jalan kotor dipercaya membawa resonansi negatif yang pada akhirnya berbalik menjerat pelakunya, baik dalam bentuk penderitaan batin maupun konsekuensi hukum.
Korupsi juga menjadi penghalang pembangunan. “Korupsi menghambat efisiensi alokasi sumber daya dan memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang” (World Bank, 2021). Anggaran yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur publik justru bocor ke rekening pribadi. Akibatnya, pembangunan menjadi tambal sulam dan rakyat kehilangan kesempatan emas untuk maju.
Koruptor mungkin merasa diuntungkan secara materi dalam jangka pendek. Namun, “keuntungan finansial dari korupsi bersifat sementara, sedangkan kerusakan moral, sosial, dan ekonomi bersifat sistemik” (Rose-Ackerman & Palifka, 2016). Korupsi adalah racun yang bekerja pelan: membius dengan rasa aman semu, menjerumuskan pada kekeruhan batin, hingga akhirnya menyeret pelakunya ke jurang kehancuran hukum dan reputasi.
Pada akhirnya, emas yang digenggam dengan tangan kotor hanyalah debu yang menunggu waktu untuk terbang. Kekayaan hasil pengkhianatan akan meninggalkan jejak pahit, bahkan setelah pelakunya tiada. Yang abadi bukanlah angka di rekening, melainkan jejak kebaikan yang ditanam di bumi. Menjadi koruptor mungkin terlihat untung di mata dunia, tetapi sejatinya adalah kerugian besar di mata sejarah dan nurani. Sult/red